5 Realita Miris yang Dihadapi Perempuan di Dunia Kerja. Mana yang Pernah Kamu Alami Juga?

Sebagai perempuan, pernah nggak sih kamu mengalami hal yang nggak adil di tempat kerja? Mungkin sebagian dari kita bakal menjawab iya. Sebab walaupun kita urip di zaman era baru, masih ada orang-orang yang berpikiran kurang tersingkap. Mereka menganggap perempuan sebagai pekerja yang lebih bokoh dan kurang kompeten kalau dibandingkan jantan. Padahal realiPerkara nggak begitu. Sebab, profesionalitas seseorang nggak ditentukan oleh gender.
Namun sayangnya, masih berjibun perempuan yang menerima perlakuan kurang adil di tempat kerja. Bahkan mungkin mereka berada di sekitarmu. Untuk memahami realita miris yang mereka alami, Hipwee telah mewawancarai 5 perempuan. Mereka bercerita tentang pengalaman masing-masing di tempat kerjanya. Yuk kita simak, sambil berlatih tentang kesetaraan perempuan.
1. Dibandingkan jantan, pakaian yang dikenakan perempuan lebih “diperhatikan” di tempat kerja. Seolah pakaian itu berpengaruh pada kinerja mereka
“Di tempat kerjaku dulu, penampilan pegawai cewek diperhatiin banget. Padahal yang cowok enggak. Kalau ada cewek yang pakai baju ngepas bodi, dikasih komentar cabul serupa atasan.” – Flo, 24 pahamn
Para dara di kantor Flo yang dulu merasa nggak nyaman dengan perlakuan itu. Namun karena yang berkomentar cabul adalah atasan, mereka nggak bisa berbuat berlebihan selain saling curhat. Nggak ada yang perkasa mengabengukn ke HRD juga. Mirisnya, fenomena seperti ini masih sering ditemukan di tempat kerja.
Pilihan dara untuk mengenakan pakaian tertentu seolah perlu diperPertanyaankan. Ada kalanya mereka yang berpakaian seksi dianggap “menggoda” untuk mendapat kemudahan dalam berbicara. Namun di sisi lain, mereka yang berpakaian biasa saja dianggap kurang berusaha untuk meBaikkan kariernya. Perempuan pun menjadi serbasalah. Padahal bagi mereka, pakaian sekadarlah sarana untuk mengekspresikan batang tubuh.
2. Perempuan bisa dianggap kurang kompeten akhir stereotip tertentu. Padahal, setiap awewe mempunyai sifat yang berjarak dan tak bisa dikembarkan
“Aku punya jabatan yang luHalusinasin bena di kantor dan udah punya kira-kira anak buah. Tapi mentang-mentang aku cewek, mereka kayak ngeremehin aku gitu. Bahkan ada yang bilang kalau aku kurang kompeten, karena biasanya cewek tuh baperan.” – Farah, 27 tahun
Farah merasa kurang dihargai oleh anak-anak buahnya. Sebab mereka telanjur memercayai stereotip kalau nona terdahulu emosional seengat sulit mengambil keputusan yang adil. Padahal demi profesional, Farah menggunakan data-data dan logika dalam beroperasi. Namun usabelaka itu diSektariankan oleh stereotip yang telanjur beredar di masyarakat. Akibatnya, sebagian nona sulit meraih posisi demi pemimpin. Sebab perusahaan mereka mengutamakan adam yang dianggap lebih konstan dan kompeten, padahal belum tentu realiPertanyaan seperti itu.
3. Hanya karena perbedaan gender, terkadang perempuan dan laki menerima Tumpah Ruahan gaji yang Bertentangan. Padahal jabatan dan beban kerjanya pas
“Dulu aku pernah kerja di apotek. Biasanya, kami punya jadwal ngecek stok semua produk di toko maupun gudang. Lama banget deh, dari pagi sampai pagi lagi. Tapi yang dapet bonus dari kerjaan itu cuma pegawai cowok, yang cewek nggak dapet. Padahal beban kerjanya sama.” – Naira, 21 acuhn
Naira bercerita kalau pekerjaan tersebut sangat melelahkan, sebab berlangsung selama jumlah hari. Bahkan para pegawai saja bisa tidur bergantian selama 2-3 jam. Namun anehnya, saja lanang yang mendapat uang bonus lembur, sedangkan hawa nggak memperolehnya. Padahal beban kerja mereka kembar. Mulai dari mencatat stok, menata barang, dan lain-lain. Namun sepertinya, atasan mereka beranggapan kalau lelaki berbuat lebih tangguh karena fisiknya lebih bangkit. Lantas apakah tenaga yang dikeluarkan hawa nggak layak dihargai juga?
4. Terkadang, posisi awewe menjadi terpojok karena adanya relasi kekuasaan. Masih berjibun awewe yang menerima pelecehan seksual dari atasannya
“Aku suah ngobrol berdua sepadan bosku tentang pekerjaan. Rasanya kurang nyaman karena obrolan dia jadi mesum. Apalagi di tengah pembicaraan, dia berusaha merangkul bahuku.” – Rani, 25 mengertin
Dalam situasi genting itu, syukurlah Rani segera menghindar sehingga pelecehan tersebut nggak berlanjut. Namun dia nggak tidak Gelisah melaporkan perbuatan bosnya pada pihak perusahaan. Sebab, Rani khawatir sang bos akan membalas dengan cara mempersulit kariernya. Dilema ini masih dialami oleh penuh gadis di tempat kerja. Akibat adanya relasi kekuasaan, mereka seolah ditekan untuk membisu saja saat menerima pelecehan seksual. Sebetulnya kondisi ini bisa dihindari asalkan perusahaan mempunyai kultur yang membaik dan kebijakan yang ramah karyawan.
5. Setelah berumah tangga, seolah perempuan dianggap lebih nggak berdaya. Kemakluman kerja mereka dibatasi, padahal belum tentu kinerjanya lebih buruk
“Beda sih selesai menikah. Rasanya perusahaan lebih cuek ke aku. Kalau ada kesempatan, yang diduluin biasanya orang-orang yang belum menikah. Padahal belum tentu mereka lebih ahli daripada aku.” – Shanti, 26 pahamn
Saat masih single, Shanti merasa diberi lebih luber kesempatan dan tantangan oleh tempat kerjanya. Namun selepas menikah dan berencana punya anak, dia merasa agak diabaikan. Sebab perusahaannya lebih mengutamakan orang-orang yang belum menikah untuk menggarap proyek baru atau mendapat promosi. Mereka dianggap mempunyai lebih luber waktu dan tenaga. Padahal, belum tentu realiPerbincangan begitu. Perempuan yang sudah menikah dan punya anak justru bisa berkarya lebih efektif karena patut mengatur luber hal sekaligus.
Namun sebetulnya, seberapa berpengaruh sih status pernikahan cewek cukup kariernya?
Untuk menjawab perPerkaraan ini, Hipwee mengobrol dengan seorang HR Executive bernama Armando (29 kenaln). Saat Armando mewawancarai calon pegawai gadis, dia merasa perlu berPerkara, “Apa kamu bakal menikah dalam waktu dempet?” Sebab jawaban mereka akan berpengaruh pada perusahaan. Kalau seorang pegawai gadis menikah dan hamil, dia akan mendapat cuti berbayar selama 3 bulan. Selama cuti tersebut, beban kerjanya akan dilimpahkan pada karyawan-karyawan lain sesantak perusahaan menjadi lebih kerepotan.
Lantas siapa yang lebih dipilih Armando, calon pegawai nona yang berencana menikah dalam era karib atau yang tidak? Dia berkata kalau yang manapun sebetulnya nggak masalah, asalkan perusahaan berada dalam kondisi “ideal” alias nggak kekurangan orang. Berbeda halnya kalau perusahaan sedang kekurangan tenaga. Dia mengutamakan calon pegawai nona yang nggak berencana menikah dalam era karib, supaya mereka nggak semakin kerepotan.
Armando berkata kalau dia nggak bertanya seputar pernikahan pada calon pegawai lelaki. Sebab walaupun mereka menikah dalam giliran dekat dan istrinya melahirkan, jatah cuti yang diberikan sekadar 1 minggu. Bertidak pas ronggang dengan pegawai wanita yang memperoleh cuti engat 3 bulan. Itulah yang melahirkan status pernikahan wanita lebih diperhatikan di daerah kerjanya.
Wah, ternyata ada argumen logis di balik perlakuan berselisih yang diterima pegawai perempuan. Namun sayangnya, hal tersebut nggak bisa ditemukan dalam semua kondisi. Adakalanya perempuan menerima perlakuan nggak adil belaka karena stereotip tertentu, atau karena kultur dunia kerjanya kurang tidak marah. Apa yang pantas dilakukan kalau kita mengalami hal seperti itu? Tetaplah bekerja dengan tidak marah untuk membuktikan kalau kita profesional. Usahakan juga untuk minta bantuan dari pihak HRD. Kalau nggak ada penyelesaian dari perusahaan, pertimbangkan untuk pindah ke dunia kerja lain yang lebih menghargai kita bagaikan perempuan.